![]() |
Picture:malesbanget.com |
Sebelumnya, perkenankan saya untuk meminta maaf ya. Bukannya menganjurkan untuk menonton film bermutu, tapi saya malah mereview Film mistis yang dibintangi oleh Ratu Horor Bangsa ini, Almarhumah Suzana.
Saya mau cerita dulu bagaimana saya bisa nonton film ini. Bukan karena mendengar berita kematiannya Suzanna. Saya memang sudah lama mencari film-film 80-an kaya Catatan Si Boy, film-film Benyamin Sueb yang keberadaannya sangat langka di lapak-lapak bajakan (tolong yang punya link pada film-film kasih tau saya ya)
Film horror Suzana, begitu lekat di dalam kepala saya. Dan sukses menakut-nauti saya hingga saya menginjak masuk kuliah. Kenapa? Ternyata dengan menonton kembali film-filmnya, saya dapat banyak pelajaran baru.
Film Suzana yang saya tontot pertama kali adalah “Sundel Bolong”, disusul dengan “Telaga Angker”. Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD. Sedang makan malam di meja makan, sekitar pukul 20:00. Lalu ayah saya datang, dan tanpa menghiraukan perasaan saya, Beliau menyetel video VHS “Telaga Angker”. Ruang makan saya memang jadi satu dengan ruang TV. Saat melihat kemunculan Suzana dengan baju putih yang gombrong, mata hitam, dan rambut panjang berantakan yang super lebat, saya menjerit. Ketakutan. Lalu menyuapkan makanan ke dalam mulut sambil menutup mata. “Ayah! Takut! Gambaran Suzanna yang demikian itu terus membayangi saya, hingga dewasa. (Weleh, sukses banget nih make up artisnya!)
Malam satu suro bercerita tentang seorang dukun yang bertempat tinggal di Alas Roban Jawa Tengah. Ia membangkitkan jenazah Suketi, wanita 21 tahun yang meninggal akibat bunuh diri karena diperkosa. Suketi dipaku kepalanya, dan saat itu pula jadi manusia. Suketipun diangkat menjadi anak angkat. Beberapa waktu berlalu, di hutan yang hanya didiami oleh Suketi, dukun, dan istri dukun itu didatangi oleh 2 pemuda pemburu dari kota. Sang pemburu yang bernama Werdo jatuh cinta pada suketi dan berniat meminangnya.
Adegan malam pertama Werdo dan Suketi adalah adegan paling lucu di film. Suketi dan Werdo memakai pakaian pengantin khas Jawa. Suketi duduk di tempat tidur yang banyak bunga-bungaannya dan lampu warna warni yang kelap-kelip. Lalu ada sekitar 7 orang dayang wanita memakai baju transparan yang menggoda-goda pengantin, membuka kemben Suketi dan Werdo dengan muka malu-malu tapi mau. Lalu terjadilah malam pertama mereka yang hanya digambarkan sedikit dan hanya kepala Werdo dan Suketi. Ujug-ujug Suketi dan Werdo sudah tinggal di rumah mewah (rumah yang juga dipakai untuk Shooting catatan Si Boy, kalo gak salah jadi rumahnya Vera (Meriam Belina)..:P)
Keluarga bahagia nan kaya raya ini dikaruniai 2 anak, Rio (8th) dan Pretty (4 th). Konon kalau mengawini Sundelbolong, maka hidupnya akan kaya raya loh jinawi.
Konflik muncul ketika rekan kerja Werdo ditolak tendernya di kantor Werdo, para preman berwajah seram itu bertanya pada dukun yang lain. Setelah tau raasia Werdo, mereka menyambangi rumah Werdo, dan mencabut paku yang bertengger di kepala Suketi. Dan jadilah ia kembali pada sosok aslinya.
Ada banyakadegan yang “gak nyambung” di film ini jika dikatikan dengan judul film. Malam Satu Ruro hanya digambarkan sebagai malam kelahiran kembali si Suketi dan malam perkawinannya. Tidak ada digambarkan selanjutnya tentang Malam Satu Suro itu. Kemudian adanya tokoh-tokoh lawak, seperti Bokir, Dorman yang bernyanyi “Tembok Derita” (Lagu dangdut itu sangat ngetop saat itu). Bahkan, Sundel bolongpun ikut-ikutan meledeki Bokir dnegan kata-kata. “Tembok Derita..hihihihii” lalu ia terbang dengan baju gombrongnya yang kepanjangan.
Ketidaklogisan sebetulnya sudah muncul diawal film ini, ketika para pemburu datang ke Alas Roban hanya untuk memburu kelinci, dan perubahan Sundelbolong jadi Suketi dari baju putih langsung jadi Suketi yang cantik lengkap dengan kebaya dan kerudung kuning,
Film ini memiliki bercerita tentang hal yang sederhana, Balas Dendam. Namun yang menarik penggarapannya tidak main-main. Kalau saya bandingkan dengan film sekarang yang tidak sedetail film-film dulu. Ketika menggambarkan kuburan, tempat malam pengantin Suketi dan Werdo, make up, kostum, semuanya betul-betul dipenuhi, walaupun saat ini kita melihatnya norak. Namun terlihat sekali para kru dan produser berusaha se-real mungkin. Belum lagi backsoundnya. Di film ini kita tidak dikagetkan dengan suara-suara musik yang memekakan teling, justru sebaliknya, musik yang menjadi latar belakang film ini adalah musik yang menggambarkan kepiluan yang dalam dan orisinil. Bahkan ada adegan Suzana memainkan piano dan menyanyikan lagu Vina Panduwinata segala.
Namun saya pikir, kesuksesan film horror 80-an (Film Suzanna) adalah ketika para filmakernya konsisten membangun keseraman dan ketakutan pada karakter hantunya. Hantu asli Indonesia dengan rambut panjang, baju putih, dan tawa melengking.
Ketakutan datang ketika melihat ekspresi Suzana yang tidak dibuat-buat. Tidak perlu melotot berlebihan dan hanya dengan efek seadanya. Auranya seramnya bisa sampai ke orang yang menontonnya tidak hanya saat itu tapi hingga bertahun-tahun.
Jadi perkenankan saya memberikan apresiasi setinggi-tinggi kepada Almarhumah atas dedikasinya dalam film-filmnya juag pada film maker saat itu. Aktingnya yang sangat natural, dan penampilannya costumnya yang “agak-agak” telah jadi citranya (Sepertinya Ibu Suzana dari dulu emang suka pake wig dan busana yang coraknya nabrak-nabrak).
Oh iya, btw, film-film horror beliau juga ditonton oleh Malaysia loh, bahkan film “Bernafas dalam Lumpur” juga dijadikan sebuah film di sana, saya gak tahu ceritanya sama apa engga.
Penulis : Nurhablisyah, Msi.
0 Response to "Review Film Jadul - Malam Satu Suro"
Post a Comment