Hasil Seminar Potret Buram Sinetron Indonesia, Kampus Paramadia

Hasil Seminar Potret Buram Sinetron Indonesia, Kampus Paramadia, 
Catatan 20 Februari 2008, Review oleh Nurhablisyah, Msi



Alhamdulillah kemaren aku baru aja ikutan seminar bertajuk “Potret Buram Sinetron Indonesia”, menghadirkan pembicara, Nina Armando, Santi Indra Astuti, dan Slamet Raharjo. Seminar yang diadakan gratis dan bertujuan mempresentasikan temuan penelitian 18 universitas di Pulau Jawa tentang sinetron remaja, dihadiri sekitar 100 peserta. Umunya mahasiswa,dosen, dan anggota LSM. Aku gak liat temen-temen praktisi (penulis, sutradara, dll). Mungkin ada kali yah, tapi aku gak kenal.

Penelitian dilakukan sepanjang tahun 2006-2007, mempertanyakan tentang kandungan kekerasan, seks, mistis, dan adegan yang tidak sesuai dengan norma dalam sinetron remaja. Hasilnya:

1. Kekerasan psikologis 41,5%
2. Kekerasam Fisik
3. Kekerasan relasional (rusaknya hubungan relasi atau karakter)

Ekspresi kekerasan (dari yang tertinggi)
1. Verbal (56%)
2. Non verbal (22%)
3. Gabungan (22%)

Pelaku kekerasa terbesar: Perempuan (56%), laki-laki (44%)

Pada sinetron remaja Indonesia, remaja menjadi pelaku dan korban kekerasan.

Temuan lain:
1. Motif kekerasan disengaja
2. Bentuk kekerasan anak sama seperti ornag dewasa. Artinya, anak-anak bisa melakukan apa yang orang dewasa lakukan, mencambak, menghardik, bahkan rencana untuk membunuh
3. Kartunisasi. Walau korban sudah dianiyaya sedemikian rupa tetap akan sehat kembali
4. Bullying
5. KDRT dianggap biasa
6. Biasanya pelaku kekerasan adalah teman dekat/ sodara korban kekerasan.

Temuan tentang seks:
1. anak-anak SMP sudah pacaran
2. Pacaran di kalangan remaja dianggap bisa diterima di masyarakat
3. Perempuan kerap menjadi pelaku pelecehan seksual
4. remaja perempuan mengekploitasi seksualitas

Temuan Mistik
1. Penampakan umunya berwujud perempuan
2. Remaja juga mengnal dunia mistik
3. Cahaya putih siasumsikan sebagai laki-laki

Oke, bagi para praktisi dunia hiburan (TV, Film, dan sinetron) please jangan panas dulu. Temuan ini bagus, dan masih banyak lagi. Ini adalah salah satu bukti kepedulian dunia akademisi bagi nasib bangsa ini. Hasil penelitian ini adalah sumbangan mereka. Kalau praktisi dunia sinetron dan film kan karyanya sudah bisa langsung dinikmati. Dan temuan ini seharusnya bisa berguna bagi masyarakat dan stasiun TV yang bersangkutan, dan para pekerja film/sinetron.

Memang sangat tidak mudah untuk mengaplikasikan suatu tayangan ideal. Mas Slamet Raharjo usul, gimana kalo para akademisi bikin aja film/sinetron sendiri yang emang dianggap ideal. Buat aku, ini gak fair. Tapi kalo mau seperti itu yah memang harus dibuat sebuah tayangan alternatif. Resikonya, stasiun TV tidak mau menayangkan karena ratingnya kecil, dan biayanya bisa mahal. Ada solusi lain, yaitu mematikan TV. Mungkin sebagian keluarga bisa melakukan ini. Tapi harus diingat, sodara-sodara kita yang kerja di TV jumlahnya ribuan. Dengan mematikan TV, artinya mematikan perekonomian,dan kitapun memasuki dunia kemiskinan baru. Trus solusinya gimana?

Kita break down dulu deh, kebutuhan dan keinginan kita.

TV (media) dan orang-orang yang bekerja di dalamnya Masyarakat
Keinginan Profit Terhibur, mendapat informasi, mengisi waktu uang
Ukuran Rating Cerita yang seru,bagus, pemain yang tampan dan cantik, bikin penasaran, (unsur berita lah)

Pertanyaannya: Masyarakat yang mana nih yang maunya kayak gitu? Siapa sih yang nonton Sinetron? Kalo diperhatikan (ini asumsi saya saja loh). Yang menonton sinetron adalah ibu-ibu. Kalaupun remaja, maka itu bukan remaja di kota besar. Anak remaja di kota besar sudah sibuk dengan frindster, chatting, Film, dan peer groupnya. Jadinya yang nonton sinetron umumnya adalah orang yang punya karakteristik:
1. jenis kelamin perempuan
2. usia 13-50 tahun
3. kalau dia remaja, dia tinggal bukan di kota besar, dan jarang belajar
4. kalau dia dewasa, maka umumnya ibu rumah tangga (atau banyak di rumah), ini bisa di kota besar dan kecil.

Mengingat jumlah ini cukup banyak. Maka ketika ada survey penonton, maka jumlahnya dianggap sah untuk mewakili penonton Indonesia. Rating memang bukan patokam, tapi stasiun TV butuh standar.

Nah, kalo di kota-kota besar, mungkin orang memilih berlangganan TV kabel atau TV komunitas. Tapi di kota kecil, TV teresterial masih menjadi primadona utama. Namun bagi pengelola stasiun TV teresterial juga perlu diingat. Bahwa kesadaran maysarat bisa bergeser. Orangpun akan mual dan bosan dengan adegan-adengan melotot dan teriak-teriak. Kalo sudah begini, stasiun T V akan ditinggalkan. Yang ramai malah para pelanggan TV kabel.

Artinya, perlu juga dipikirkan tayangan alternative kayak gimana sih yang pas dan pantes buat remaja? Dari kubu Akademisi, mereka minta dilibatkan untuk bisa memberi masukan. Tawaran itu tentunya bisa terima, Namun dari kubu praktisi, kami juga minta bantuan yang bukan sekedar masukan. Tolong cariin dana, dan bujuk stasiun TV supaya mau menayangkan program itu.

Akhirnya, Stasiun TV tetap langgeng dan dicintai, masyarakat tenang bersama TV, dan ekonomi tetap berjalan.

Btw, banyak juga teman-teman akademisi yang engga tau proses membuat sinetron. Sinetron yang hadir ke rumah kita setiap hari, dibuat oleh orang-orang yang berdedikasi, kerja dari pagi ke pagi lagi. Kalo dia penulis, dia bakal meeting sampe lemes semaleman, belum lagi nulisnya, belum revisi. Kalo dia sutradara, dia juga harus berhubungan dengan kru, pemain, produser, dll. Kao dia kru, dia harus ninggalin keluarganya berminggu-minggu. Belum kalo kejar tayang, dan bla, bla. Sangat melelahkan deh.

Jadi kepada semua pihak. Terima kasih atas masukkannya. Mudah-mudahan kita bisa bekerjasama yah. Aku yakin, semua orang ingin yang terbaik untuk Indonesia. Yang terbaik untuk generasi mendatang. 

Salam Cinta,

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hasil Seminar Potret Buram Sinetron Indonesia, Kampus Paramadia"

Post a Comment