Berusaha Memberi Sedikit Kesulitan pada Anak di Masa Depan

Berusaha Memberi Sedikit Kesulitan pada Anak di Masa Depan

Kalimat di atas adalah salah satu kalimat yang pernah diutarakan oleh Ibu Siska Yudhistira Massardi, mentor sekaligus “ibu” yang sangat kuhormati. Awalnya, aku tidak bisa membayangkan apa maksud dari kalimat ini. Aku berpikir, bahwa sebagai orang tua bukankah seharusnya kita memberikan banyak kemudahan, dengan menyiapkan masa depan anak, tabungan kuliah, atau kalau bisa warisan yang cukup. Namun hari ini, ataz izin Allah SWT, aku dapat pelajaran yang amat berharga.

Sabtu lalu, 8 Agustus 2015, pihak sekolah memberikan informasi bahwa, mulai Senin, 10 Agustus 2015, orang tua hanya boleh mengantar anaknya sampai pagar. Aku sangat paham tujuan dari sekolah ini. Agar proses belajar bisa dirasakan maksimal, aku harus bekerjasama dengan pihak sekolah dan guru. Maka mulai hari itu, aku dan suami sudah menyosialisasikan informasi ini. Farzan terkesan memahami dengan sedikit protes. Wajarlah, selama ini, hanya dia yang kami yang perhatikan. Kalau kata Bu Siska, aku terlalu lama “kekepin” dia. Aku juga sadar kok. Hari Minggu, Kami kembali mengingatkan, bahwa Farzan juga harus bekerjasama mengikuti aturan sekolah. Mama juga belajar untuk taat pada aturan. Batas mengantar adalah pintu gerbang. Mama akan menunggu di luar sekolah, karena saat itu juga ada rapat POMG.

Datanglah hari Senin. Farzan diantar oleh mama dan ayah. Tidak ada tangisan, sarapan lumayan lahap, bangun tidur juga asik-asik saja.  Ayah pamit ke kantor. Mama antar Farzan sampai gerbang. Dan inilah detik-detik drama yang berurai air mata. Awalnya dia gak mau masuk. Aku sudah ingatkan bahwa kita punya perjanjian yang harus ditepati. Farzan bilang dia tidak mau sekolah, mau pulang saja. Nada suaranya meninggi, matanya mulai memerah, dan ia mulai melempar tasnya. Aku katakan sekali lagi, ini agar mama dan Farzan sama-sama belajar taat pada aturan dan janji yang sudah diucapkan. Bu Guru datang meghampiri, Farzan ngamuk, menangis dan meraung. Aku pamit pada Farzan, dan mengatakan bahwa aku akan menunggu di luar sekolah. Mohon ikuti aturan dan hormati Bu Guru. Dia tidak bisa terima. Ngamuknya makin menjadi, teriak-teriak dan menangis. Aku pegang tangannya, aku katakan, “Mama percaya, Farzan bisa belajar dengan tenang di kelas dan berteman dengan teman yang lain. Bu Guru akan selalu membantu farzan. Selamat belajar, Mama pamit.” Farzan masih belum bisa terima, setelah melihat aku keluar pagar. Pagar ditutup, dia meraung, berteriak sekeras-kerasnya ingin pulang, bahkan ia minta maaf. Aku tidak sendiri, ada sekitar 5 ibu lain yang dengan kuat menahan air matanya melihat anaknya menangis di sekolah. Yang menariknya, kelima ibu itu (termasuk aku)  baru punya satu anak, laki-laki.

Aku tunggu di luar. Aku mengamati Farzan dari jauh. Seorang bapak-bapak berbadan tinggi besar, dengan beberapa cincin di tangannya memberi komentar. “Duh, Bu, kasian anaknya, belum siap sekolah kali. Jangan begitu Bu. Masuk saja.Temani anaknya dulu.”

“Seminggu lalu, selama seminggu Saya sudah temani Pak. Bahkan Saya ikut di dalam kelas.”

“Yah, tapi kan gak tega. Masa anaknya meraung-raung gitu ibu diam saja. Kasian Bu.” Kata si Bapak. Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum. Di saat yang bersamaan, Aku dengar Farzan muntah karena histeris menangis. Aku meyakinkan diri, InsyaAllah semua baik-baik saja, ini adalah bagian dari proses adaptasi. Setelah drama yang memilukan sekitar 15 menit. Suasana sekolah terdengar tenang. Tidak ada anak yang menangis. Aku bersama ibu-ibu lain yang tergabung dalam POMG, bergegas menuju warung terdekat untuk rapat. Kami saling menguatkan, bahwa percayakan kepada guru di sekolah, InsyaAllah Allah SWT akan memberi kemudahan.

Rapat kami berlangsung menyenangkan. Ditemani teh manis dan gorengan hangat, aku merasa bersyukur ditemani ibu-ibu solehah ini. Pendapat dan usaha ibu-ibu ini agar anak kami mandiri dan sehat  sangat tulus. Dan tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 10:20, sebentar lagi putra-putri kami akan pulang. Sesuai janji, aku harus berada di depan pagar menunggunya. Kamipun pergi menuju sekolah.

Di depan sekolah, sudah banyak ibu-ibu lain yang juga menunggu. Teriknya matahari tidak menyurutkan semangat ayah dan ibu ini menjemput putra-putri tercinta.  Hingga akhirnya pintu gerbang di buka. Dan beberapa siswa PG sampai TK mulai keluar satu per satu. Sekitar 5 menit aku menunggu Farzan, kemana dia? Teman-temannya sudah berhamburan ke luar. Dari jauh aku melihat dia memakai sepatu sendiri. Dia nampak tenang walau teman-teman yang lain ada yang belum pakai sepatu. Setelah memakai sepatu, ia merapikan tasnya, memakainya dipunggung dan berjalan menuju gerbang. Wajahnya ceria, matanya tidak merah. Dia juga berjalan tenang, tidak lari-lari. Matanya jauh menatap ke gerbang sekolah, ia berteriak pada ibu-ibu lain di depannya, “Azan sekolah sendiri,” uajrnya dengan lantang. Saat mengatakan itu, ia tidak melihat aku ada di sana. Akupun menyambutnya. “Selamat, Alhamdulillah, Allah telah memberikan kemudahan kepada kita,” ujarku. “Ma, azan bisa sekolah sendiri. Ada teman-teman. Tadi main lempar bola.” Katanya sambil memeragakan permainan lempar bola. Kami pun pulang naik mobil jemputan.

Sampai di rumah, aku belum masak. Setelah Farzan ganti baju, aku pamit  padanya untuk ke warung. “Apa farzan mau ikut?” tanyaku

“Tidak usah ma, Azan nunggu di rumah saja. Mama saja yang ke warung.”

Aku terkejut, ini belum pernah terjadi padanya. Biasanya dia selalu membuntutiku. “Yakin, Farzan mau di rumah saja?”

Dia tersenyum, “Iya, mama ke warung aja. Azan tunggu di rumah.”

Perjalananku ke warung seperti perjalanan ke Kota Mekah, penuh keharuan, hatiku berbunga-bunga. Ada rasa bangga, haru dan sedih. Sedih karena, ini adalah proses menuju dewasa, menjadi seorang laki-laki, menjadi anak yang bisa diandalkan. Menjaga rumah dan memegang amanah.  Air mataku menetes, aku cepat-cepat mengelapnya. Aku juga bahagia, karena aku membayangkan, ucapan Bu Siska, memberikan sedikit kesulitan di masa depan. Artinya memberikan kesempatan belajar kepada anak kita untuk menjadi mandiri, tangguh dan bisa diandalkan.

Selamat Belajar Cintaku.

Penulis : Nurhablisyah, Msi.

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Berusaha Memberi Sedikit Kesulitan pada Anak di Masa Depan"