Kemacetan, kebersamaan dan Ke-indonesiaan

Kemacetan, kebersamaan dan Ke-indonesiaan

Dalam suasana Idul Fitri ini, izinkan Saya dan keluarga mengucapkan Selamat Idul Fitri. Tulisan ini adalah perenungan sekaligus luapan kegembiraan. Sekitar tahun 2004, Saya pernah ditugaskan ke Saudi Arabia, tepatnya di wilayah Makah dan Jeddah saat Ramadhan hingga Idul Fitri. Saat itu, perusahaan tempat saya bekerja, tengah menjalin kerjasama dengan TVRI dalam rangka program “Ramadhan di Mekah.” Hampir satu bulan di sana, saya merasakan perbedaan yang sangat mencolok antara Saudi dan Indonesia, terutama saat Idul Fitri.

DI Saudi, saat Ramadhan, aktivitas orang berubah 180 derajat. Kegiatan perkantoran dimulai justru di malam hari, sekitar pukul 20:00 hingga 03:00. Termasuk beberapa sekolah juga aktif di malam hari. Suasana berbuka puasa di sana, amatlah meriah. Orang-orang kaya di Saudi, berbondong-bondong memberikan makan bagi orang yang berpuasa. Di sana kalau sedekah, pakai mobil container, dan bingkisan yang diberikan bukan pakai plastic kresek melainkan kardus besar. Saya ingat, saat saya dan tim sedang ambil gambar di Masjid Ja’ronah. Suasana menjelang magrib, tidak begitu ramai di sana. Seorang laki-laki bertubuh besar memanggil-manggil kami dalam Bahasa Arab. Di antara tim, Cuma ada satu ustad yang paham Bahasa Arab. Saya pikir itu Askar (tentara Arab yang galak dan tegasnya Naudzubillah), kami hampir mengambil langkah seribu takut  didoprtasi, hehehe. Ternyata beliau adalah penjaga masjid, dan memanggil kami untuk diberi bingkisan berbuka puasa. Isinya bingkisan dalam bentuk dus itu, banyak sekali. Ada kurma cokelat, susu, air mineral, roti, permen dan banyak lagi.

Namanya orang Indonesia. Gak seru kalo gak buka puasa bersama dengan orang Indonesia. Alhamdulillah Kami diterima oleh  Kepala Kantor garuda Indonesia, bapak Tommy di Jeddah. Bukber di rumah beliau, ketemu bakso buatan istrinya dan ngobrol pakai Bahasa Indonesia bersama keluarganya, indah sekali. Sekali waktu, diundang bukber juga sama salah satu petugas imigrasi di Jeddah, makan di rumahnya, ini juga seru banget.

Tapi yang paling menyayat hati adalah saat malam takbiran. Di Indonesia, saat malam takbiran. Masjid, radio mengumandangankan takbir. Di Saudi gak ada! Kepastian Idul Fitri saja berlangsung saat jamaah tengah Sholat Tarawih. Di tengah tarawih, ada pengumuman hilal, maka seketika jamaah berhamburan keluar untuk siap-siap Idul fitri.
Saat malam Idul Fitri, keluarga di Saudi berkumpul bersama, tapi hanya kumpul-kumpul, tidak ada ketupat dan makanan khas lebaran. Zakat langsung diberikan kepada orang yang menerima. Jadi waktu di perjalanan, banyak sekali pengemis atau imigran dari Afrika yang berkumpul di jalan untuk meminta zakat.

Saat malam menjelang, kami tim baru saja usia shooting episode terakhir. Kami dalam perjalanan pulang di mobil. Laju mobil saat itu sekitar 100 km/jam (Di Saudi, jalan tolnya lebar sekali, lampu jalan banyak dan terang, dan kecepatan 100 km/jam termasuk rendah). Suasana sangat hening, Saya bersama 9 orang kru diam dalam sauna hening. Teman  Saya, ternyata menyimpan suara takbir di ponselnya. Ia menyalakan suara itu. Dan pecahlah tangis kita semua. Entah mengapa, suara takbir saat itu sangat syahdu dan menyayat hatiku. Rindu sekali berkumpul bersama keluarga. Rindu menyambut lebaran dengan suka cita, rindu suasana di Indonesia.

Jadi, saking Indonesianya kami orang Indonesia. Kami suka berkumpul, bersama-sama. Berkumpul di jalan dalam kemacetan. Berkumpul di bus yang uyel-uyelan, berkumpul di kamar mandi sambil ngerumpi, berkumpul di tukang sayur sambil cekikikan, berkumpul di bengkel atau tempat cucian mobil. Orang Indonesia itu pada dasarnya suka bersama-sama. Salah satu yang menyebabkan mobil minibus laku keras di negeri ini, adalah karena kita ingin mengangkut semua keluarga kita saat jalan-jalan. Ada uwak, teteh, ponakan, kakek, nenek, semua deh.

Saat itu, semua tempat liburan, kolam renang, kebun binatang, restoran, banjir pengunjung. Termasuk keluarga saya yang datang ke area renang di wilayah Bojong nangka- Wanaherang. Keadaannya penuh manusia. Kalau keadaan seperti ini, bagaimana mau berenang? Paling Cuma celupin badan ke air. Kesal? Engga lah! Orang Indonesia seneng rame-rame, walau gak kenal bisa bersuka ria sama-sama. Dinikmati aja keramaian dan kesumpekan ini. Walau sampai di rumah misuh-misuh sedikit, tetap ada kisah ceria di dalamnya.


Lokasi : kolam renang bojong nangka cikeas bogor

Jadi, saya yakin, orang Indonesia adalah orang yang tidak usil. Gak suka gangguin orang. Malah sebaliknya, kita bisa ikut bahagia bersama-sama. Selamat liburan, semoga menyenangkan dan menjadi kenangan yang indah.

Penulis : Nurhablisyah, Msi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kemacetan, kebersamaan dan Ke-indonesiaan"

Post a Comment